Penrad Siagian Bahas Kasus Agraria Sumut ke BAP DPD RI: Lihat Fakta Sejarah

Anggota BAP DPD RI, Pdt. Penrad Siagian. (Foto:Nando/Alur)

Jakarta - Anggota Badan Akuntabilitas Publik (BAP) DPD RI, Pdt. Penrad Siagian, menghadiri Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) yang membahas penyelesaian sengketa agraria di Indonesia. Rapat yang dipimpin oleh Ketua BAP DPD RI, Ahmad Syauqi Soeratno, digelar di Ruang Rapat Mataram, Gedung DPD RI, Jakarta, Rabu, 10 September 2025.

Sekali lagi saya mau tekankan bukan masyarakat yang masuk ke HGU atau hutan, tetapi hutan dan HGU lah yang masuk ke dalam pemukiman masyarakat

RDPU ini melibatkan berbagai kementerian terkait, yaitu Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Kementerian Kehutanan, serta perwakilan kelompok masyarakat dalam rangka menindaklanjuti pengaduan masyarakat terkait sengketa agraria.

Turut hadir dalam rapat tersebut perwakilan masyarakat dari Sumatra Utara, antara lain Forum Kaum Tani Sejahtera Indonesia (FKTSI), Forum Masyarakat Peduli Pembangunan (FMPP), dan Gabungan Kelompok Perjuangan Tani Sejahtera.

Dalam paparannya, Pdt. Penrad Siagian menyoroti paradigma penyelesaian sengketa agraria yang menurutnya perlu diubah secara mendasar. Ia menilai terdapat kesalahan fundamental dalam pengelolaan tanah pasca kemerdekaan Indonesia.

"Salah satu kesalahan kita bernegara ini ketika Belanda dan Jepang masuk ke Indonesia. Belanda dan Jepang tidak punya tanah di sini, yang punya itu rakyat. Kemudian Belanda dengan bedilnya mengusir masyarakat, dan tanahnya diambil. Jepang masuk kemudian mengambil tanah yang ditinggalkan Belanda dan ditambah lahan baru yang diinginkan, dan masyarakat kembali diusir," kata Penrad Siagian.

Menurutnya, semua tanah yang dikuasai Belanda dan Jepang langsung dinasionalisasikan dan dianggap milik negara, padahal seharusnya diselesaikan terlebih dahulu bahwa tanah tersebut adalah milik masyarakat yang diusir oleh penjajah.

"Harusnya diselesaikan dulu bahwa itu tanah masyarakat yang dirampas oleh Belanda dan Jepang. Bukan malah republik ini dengan pemerintah ikut meneruskan pola itu mengusir masyarakat dengan dalih nasionalisasi setelah kemerdekaan," jelasnya.

Senator asal Sumut ini menekankan pentingnya mengubah paradigma dalam melihat konflik agraria. Ia berpendapat bahwa masyarakat bukanlah perampok tanah, melainkan pihak yang meminta haknya dikembalikan.

"Masyarakat tidak merampok tanah mereka hanya meminta. Itupun hanya untuk melanjutkan hidup dengan meminta haknya atas tanah leluhur mereka. Itu harus menjadi paradigma kita dulu. Masyarakat bukan mau merampok tanah negara, masyarakat mau meminta kemerdekaan yang sudah dideklarasikan tahun 1945 dulu. Supaya masyarakat juga merasa merdeka," tegasnya.

Ia berharap hal itu dapat menjadi dasar kebijakan pemerintah dalam menyelesaikan sengketa agraria, sehingga Indonesia dapat semakin cerah dan tidak menimbulkan keresahan di masyarakat.

Dalam kesempatan tersebut, Penrad juga menguraikan beberapa kasus sengketa agraria di Sumatra Utara yang telah ia dampingi, di antaranya:

Kasus Gurilla, Kota Pematangsiantar

Penrad menjelaskan bahwa sejak tahun 2004, masyarakat telah menggarap lahan di area Gurilla. Ia menekankan bahwa menggarap tanah bekas HGU atau hutan adalah sah dan dilindungi oleh UUPA Tahun 1960.

"Dari tahun 1998 sampai 2004, kemudian tahun 2004 sampai 2018 itu ditelantarkan, tidak ada apa-apa yang ada di situ. Sejak tahun 2020 saya mendampingi, tidak ada tanaman perkebunan di situ, artinya diterlantarkan selama puluhan tahun," ungkapnya.

Di lokasi tersebut, masyarakat telah membangun pemukiman, masjid, gereja, sekolah, dan kantor desa.

Ia juga mengungkap adanya kejanggalan dalam perpanjangan HGU, di mana terdapat SK HGU tersebut ada klausul yang menyatakan 126,9 hektare harus dikeluarkan untuk kepentingan masyarakat dan kota, namun tetap dimasukkan dalam perpanjangan HGU.

Kasus Mandoge, Kabupaten Asahan

Terkait kasus Mandoge, Penrad menegaskan bahwa masyarakat telah tinggal di area tersebut jauh sebelum HGU diterbitkan.

Ia mengkritik pembentukan Satgas PKH yang menurutnya menjadikan masyarakat sebagai sasaran.

"Saya mendukung dibentuknya satgas PKH, tetapi jangan rakyat yang jadi sasaran, perusahaan-perusahaan pembalak hutan itulah sasaran PKH. HGU yang kelebihan luasan juga harus jadi perhatian PKH, bukan malah masyarakat yang punya keterikatan sejarah panjang atas tanah tersebut" tandasnya

"Sekali lagi saya mau tekankan bukan masyarakat yang masuk ke HGU atau hutan, tetapi hutan dan HGU lah yang masuk ke dalam pemukiman masyarakat," jelasnya.

Kasus Simangambat, Padang Lawas Utara (Paluta)

Untuk kasus Gapoktas di Padang Lawas Utara, Pdt. Siagian mengingatkan peristiwa tahun 1986 ketika banyak warga meninggal saat lahan mereka diambil alih untuk dijadikan HGU oleh PT Wonorejo dan PT Torgandq.

"Nah, ketika sudah kehabisan HGU mereka, itukan putusan Mahkamah Agung mengambil alih 47 ribu hektare dari PT Wonorejo dan PT. Torganda, kemudian PT Wonorejo yang kelebihan (luasan) yang selama puluhan tahun tidak membayar pajak yang kelebihan 3 ribu hektare itu. Itu yang perlu ditembak, bukan masyarakat yang tanahnya dulu mereka miliki kemudian dirampas oleh HGU, ini kok yang mau disatgaskan," ujarnya.

Pdt. Penrad merekomendasikan pembentukan tim khusus untuk menyelesaikan konflik agraria di Sumatra Utara, khususnya untuk kasus Gurilla, Mandoge, dan Gapoktas di Padang Lawas Utara.

"Jangan melihat ini dalam perspektif sertifikasi saja. Tetapi ada fakta sosial, sejarah, ada budaya di dalam yang bisa kita jadikan bukti-bukti dalam menyelesaikan persoalan-persoalan ini," pungkasnya.

Ia juga menyarankan agar BAP membentuk satgas untuk rakyat guna mengeluarkan semua desa dan pemukiman serta fasilitas sosial dan fasilitas umum dari area HGU dan hutan, sehingga tidak menimbulkan konflik berkelanjutan.

RDPU ini diharapkan dapat menghasilkan rekomendasi konkret untuk penyelesaian sengketa agraria yang telah lama menjadi permasalahan di Indonesia, khususnya dengan mengubah paradigma penyelesaian yang lebih berpihak pada masyarakat agar menjadi legacy baik bagi DPD RI.[]

Komentar Anda