Opini oleh:
Andi Muhammad Muhsin.
Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu
Fungsional PKPM
”KITA sering mendengar nasihat, “Manusia akan meninggal dalam kebiasaan yang ia lakukan.”
Dan baru kemarin saya benar-benar menyaksikan sendiri kebenaran nasihat itu di kisah ibunda saya menjelang akhir hidupnya.
Malam itu, saya dan istri menjenguk seorang tante yang sedang sakit. Tante ini sepupu ibu saya, yang biasa saya panggil dalam logat Makassar:
Bonda Enang. Kami berbincang seperti biasa, sampai tiba-tiba beliau mengatakan sesuatu yang membuat saya terdiam cukup lama.
“Bundamu itu… sejak dulu sering membantu saya. Meskipun sedikit, tapi sering.
Dan lima menit sebelum beliau meninggal… beliau masih sempat memberi sedekah kepada saya.”
Lima menit sebelum wafat.
Lima menit sebelum detak terakhir.
Lima menit sebelum pintu dunia tertutup dan pintu akhirat terbuka.
Untuk memahami besarnya makna momen itu, bayangkan kondisi ibu saya pada tahun 2021masa ketika COVID mulai mereda tapi masih menjadi ancaman.
Di ruang UGD RS Ibnu Sina Makassar, ibu saya berjuang bernapas meski sudah memakai oksigen bantuan dengan kapasitas maksimal.
Bahkan untuk tidur pun beliau harus duduk karena dada terlalu sesak jika dibaringkan.
Kalau Anda berada dalam kondisi seperti itu, lalu ada yang menjenguk, apa yang akan
Anda lakukan?
Mengeluh?
Menangis?
Meminta doa?
Tapi ibu saya… dalam kondisi paling lemah sekalipun… Allah ilhamkan untuk tetap memberi.
Bukan karena ingin dipuji.
Bukan karena ingin dikenang.
Tapi karena memberi sudah menjadi dirinya.
Memberi bukan aksi.
Tapi kebiasaan.
Bukan program.
Tapi watak.
Bukan pencitraan.
Tapi pola hidup.
Saya pulang malam itu dengan hati yang bergetar. Baru saya sadari sebuah kenyataan yang sangat dekat dengan kehidupan kita:
Kita akan meninggal dalam kebiasaan yang kita ulang setiap hari.
Orang yang terbiasa membantu, akan membantu sampai detik terakhir.
Orang yang terbiasa berkata baik, akan meninggalkan kata-kata baik sebagai jejak terakhirnya.
Orang yang terbiasa hadir untuk orang lain, akan dikenang karena kehadirannya… bahkan setelah ia tiada.
Banyak yang berharap wafat dengan husnul khatimah, tetapi lupa bahwa husnul khatimah adalah buah dari hidup yang baik, bukan keberuntungan dadakan.
.Ibu saya bukan manusia sempurna.
Beliau punya salah, punya kekurangan, punya sisi manusiawi. Tapi satu hal kecil ia jaga sepanjang hidupnya dan Allah jaga sampai akhir: kebiasaan memberi.
Sejak malam itu, saya terus bertanya pada diri sendiri:
Kebiasaan apa yang saya ulang setiap hari?
Karena apa yang kita ulang menjadi karakter.
Karakter menjadi takdir.
Dan takdir menentukan akhir hidup kita.
Saya belajar satu pelajaran besar dari seorang wanita sederhana:
Kematian itu misterit api gaya mati seseorang sering mencerminkan gaya hidupnya.
Ada yang wafat dalam sujud.
Ada yang wafat saat membantu.
Ada yang wafat dengan senyum.
Ada yang wafat sambil memberi.
Allah sering menutup hidup seseorang dengan apa yang paling ia cintai.
Di akhir tulisan ini, saya ingin meminta dua hal kecil:
1. Titip doa untuk ibunda saya, Nurmawati Arna semoga Allah lapangkan kuburnya dan sejukkan perjalanannya.
2. Perbaikilah kebiasaan kecil Anda hari ini, karena dari situlah Allah akan menutup hidup kita.
Saya berdoa..
Semoga apa pun kebiasaan saya hari ini
adalah sesuatu yang layak untuk saya bawa menghadap-Nya.
Dan semoga kisah kecil ini menjadi pengingat lembutuntuk saya, dan untuk siapa pun yang membacanya. []