Jakarta – Badan Pengkajian MPR RI melalui Kelompok IV menggelar Focus Group Discussion (FGD) bertajuk "Sistem Keuangan Negara, Perekonomian Nasional, dan Kesejahteraan Sosial" di Depok, Jawa Barat, Selasa, 23 September 2025.
Tujuan bernegara adalah menghadirkan kemakmuran seluas-luasnya bagi rakyat
Kegiatan ini merupakan upaya memperdalam kajian strategis terkait tata kelola keuangan negara dan dampaknya terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat.
FGD yang dipimpin Anggota Badan Pengkajian MPR RI dari Fraksi PKB, KH. Maman Imanul Haq, M.M, menghadirkan sejumlah pakar terkemuka, yakni Dr. Erwin Permana, Prof. Dr. Drs. Edi Slamet Irianto, Henry Hutagaol, S.H., LL.M, dan Prof. Dr. Dra. Haula Rosdiana, M.Si., CiRR.
Dalam paparannya, KH. Maman Imanul Haq menegaskan bahwa tema FGD ini dipilih karena relevan dengan kondisi aktual, khususnya terkait peran pajak dalam memperkuat demokrasi dan menopang perekonomian nasional.
"Kalau kita bicara pajak, maka kita bicara soal ekonomi negara, bicara tentang kemakmuran, dan pada akhirnya tentang kesejahteraan rakyat. Tujuan bernegara adalah menghadirkan kemakmuran seluas-luasnya bagi rakyat," ujar Maman.
Para ahli mengemukakan kegelisahan terkait kondisi perekonomian Indonesia yang masih jauh dari ideal menuju Indonesia Emas 2045.
Prof. Dr. Drs. Edi Slamet Irianto menyoroti struktur APBN 2024 yang masih mengalami defisit hingga ratusan triliun rupiah, meski nilai ekspor komoditas seperti CPO, batubara, dan nikel mencapai ribuan triliun rupiah.
"Supaya negara kita benar-benar maju, kalau dikelola dengan baik, maka bansos itu bukan Rp 600 rupiah, tapi Rp 600 ribu, bahkan bisa 2 juta misalkan. Kalau dikelola dengan betul," ujarnya.
Irianto menilai rendahnya penerimaan negara, terutama dari PNBP, dipengaruhi oleh skema royalti yang kecil dan praktik penyimpanan hasil pengelolaan SDA di luar negeri.
Ia mengusulkan pembentukan Badan Otoritas Penerimaan Negara agar fungsi perpajakan dan PNBP dapat lebih fokus.
Dr. Erwin Permana, Wakil Dekan II Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Pancasila, menyampaikan bahwa problem peraturan perundangan di Indonesia ada pada dua titik: perumusan dan penerjemahan.
Hasil kajian menggunakan Important Performance Analysis (IPA) menunjukkan proses perumusan perubahan UUD 1945 belum sepenuhnya memperhatikan aspirasi masyarakat.
"Yang paling tidak memuaskan adalah proses perumusan yang seharusnya memberi arah jelas pada pembangunan nasional, namun faktanya belum optimal," jelasnya.
Henry Hutagaol, Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia, memberi perhatian pada perdebatan penafsiran konstitusi antara originalism dan living constitution.
Ia mencontohkan kerancuan batasan keuangan negara, dari APBN, APBD, hingga badan hukum publik seperti BI, OJK, dan BUMN.
"Kadang BUMN ngaku negara kalau minta monopoli, tapi begitu menetapkan tarif, dia ngaku swasta. Begitu kolaps, balik lagi minta ditopang negara. Ini yang tidak fair," tegasnya.
Prof. Dr. Dra. Haula Rosdiana, Guru Besar Ilmu Kebijakan Pajak perempuan pertama di Indonesia, menyampaikan bahwa momentum reformasi kebijakan perpajakan semakin mendesak di tengah kondisi global yang rapuh.
Ia menyoroti paradoks kebijakan pajak yang kerap tidak matang, seperti penerapan pajak SPA yang tiba-tiba dikenakan tarif minimum 40 persen hingga maksimum 75 persen.
"Tapi kenapa orang enggan bayar pajak? Jawabannya sederhana: trust. Yang mahal sekarang ini adalah trust. Kalau tidak ada trust, orang tidak akan patuh," pungkas Haula.
Dari diskusi ini, Maman merangkum tiga poin penting yang akan dibawa ke rapat pimpinan MPR:
Pertama, perlunya perumusan ulang undang-undang perpajakan agar lebih tepat sasaran dan menjadi landasan kuat dalam pengelolaan keuangan negara.
Kedua, penataan otoritas pemungut pajak agar lebih sederhana dan jelas, sehingga tidak membebani masyarakat maupun pelaku usaha.
Ketiga, optimalisasi penerimaan negara dari sumber daya alam strategis seperti nikel, batubara, dan kelapa sawit yang diyakini mampu memberikan pemasukan signifikan bagi negara.
"Semua masukan ini akan kami bawa ke rapat pimpinan MPR untuk kemudian dirumuskan sebagai bagian dari rekomendasi resmi MPR RI. Ini menjadi penting karena target besar kita adalah mewujudkan Indonesia Emas 2045," pungkasnya.[]