Indragiri Hulu — Kasus meninggalnya KB (8), siswa kelas dua SD di Desa Buluh Rampai, Kecamatan Seberida, Kabupaten Indragiri Hulu (Inhu), Provinsi Riau, menyisakan duka dan kekhawatiran mendalam terhadap dunia pendidikan di Tanah Air.
Dunia pendidikan kembali berduka karena tempat mendidik anak justru menjadi tempat terjadinya kekerasan
KB diduga menjadi korban kekerasan di lingkungan sekolah, yang belakangan ramai dikaitkan dengan motif perundungan berbasis SARA.
Merespons situasi ini, Anggota DPD RI asal Sumatra Utara (Sumut), Pdt. Penrad Siagian, melakukan komunikasi langsung melalui sambungan telepon dengan ayah korban, Gimson Beni Butarbutar (38), Senin, 2 Juni 2025.
Di hari yang sama, Penrad juga menghubungi Wakapolda Riau Brigjen Jossy Kusumo dan Kapolres Inhu AKBP Fahrian Siregar menanyakan tindak lanjut dari kasus tersebut.
Dalam percakapannya dengan Gimson Butarbutar, Penrad menyampaikan duka cita yang mendalam atas kepergian KB.
Ia juga mengaku prihatin setelah menerima laporan yang menyebutkan bahwa kematian KB dipicu oleh perundungan dan kekerasan berbasis perbedaan identitas.
“Kami ingin tahu seperti apa persoalannya, karena kami mendengar KB meninggal akibat perbedaan SARA yang terjadi. Ini tidak boleh dibiarkan. Saya sudah menelepon Wakapolda dan Kapolres untuk mengawal kasus ini secara hukum agar tidak terjadi lagi,” ujar Penrad kepada ayah korban.
Ia juga menegaskan bahwa negara, dalam hal ini institusi pendidikan dan kepolisian, harus menjamin ruang aman bagi anak-anak untuk belajar, tanpa adanya kekerasan, apalagi yang bersumber dari intoleransi.
“Saya juga meminta agar prosesnya dilanjutkan, sehingga rasa keadilan muncul dari pihak korban. Ini juga kesalahan di sekolah. Ada kelalaian pihak sekolah dalam mengedukasi anak-anak untuk bersikap toleran termasuk perbedaan-perbedaan yang ada. Ini pihak sekolah lalai karena persoalan seperti ini sudah berulang kali terjadi kepada anak kita,” ujarnya.
Gimson pun menyampaikan harapan agar para pelaku ditindak tegas, termasuk pihak sekolah yang menurutnya lalai.
“Simpel kok permintaan kami. Anak-anak ini ditahan dan dihukum seberat-beratnya. Guru wali dan kepala sekolahnya juga supaya dipecat dari sekolah itu,” tuturnya.
“Saya juga menyampaikan terima kasih kepada Pak Pendeta atas perhatian terhadap kasus KB ini,” sambung Gimson.
Dalam sambungan telepon yang dilakukan dengan Wakapolda Riau Brigjen Jossy Kusumo dan Kapolres Inhu AKBP Fahrian Siregar, Penrad mengingatkan agar polisi tidak hanya berhenti pada aspek forensik, melainkan menyelidiki lebih dalam motif kekerasan, termasuk potensi adanya unsur SARA yang menjadi latar belakang kasus ini.
“Kita akan tunggu hasil autopsi, tapi ini kejadian yang harus diperhatikan agar tidak terulang lagi. Apalagi kalau nanti terbukti ini karena SARA. Tapi bahkan jika pun tidak, fakta bahwa ada bullying di sekolah tetap harus jadi perhatian serius aparat penegak hukum,” ujar Penrad.
Penrad kembali menekankan pentingnya pengusutan tuntas atas motif di balik kematian KB.
“Tolong ini dikawal, karena laporan yang kami dapat menyebutkan bahwa KB di-bully di ruang pendidikan. Ini sangat mengkhawatirkan, jangan sampai ruang pendidikan kita jadi lahan subur kekerasan dan intoleransi,” tegas Penrad.
Tak hanya menyoroti proses hukum, Penrad juga mengkritik keras lemahnya pendidikan karakter di sekolah. Ia meminta Kementerian Pendidikan untuk mengevaluasi kurikulum dan materi pelajaran yang masih mengandung unsur intoleransi.
“Saya akan berkomunikasi dengan pihak kementerian. Banyak buku-buku yang justru mengajarkan intoleransi dalam materi ajarnya. Buku-buku seperti ini harus ditarik dari sekolah,” ujarnya.
Penrad menyatakan bahwa dunia pendidikan harus dibersihkan dari segala bentuk kekerasan, termasuk yang berakar dari diskriminasi identitas.
“Ini harus jadi momentum agar tak terulang lagi. Dunia sekolah itu tempat belajar, bukan tempat kekerasan. Sekolah harus bertanggung jawab karena lalai menyampaikan pendidikan toleransi kepada anak-anak. Artinya ada pendidikan yang tidak mereka sampaikan kepada anak terkait perbedaan yang ada di antara anak ini,” tegasnya.
”Saya akan terus mengawal kasus ini, dan tentunya saya berharap orang tua KB kuat dan tabah,” ucap Penrad.
Sementara, Brigjen Jossy Kusumo dan AKBP Fahrian Siregar mengatakan bahwa proses penyidikan masih berjalan dan pihaknya menunggu hasil autopsi resmi terhadap jenazah KB.
“Kami sudah mitigasi, Kapolres sudah ke rumah orang tuanya. Nanti hari Selasa (3 Juni 2025), biar dokter yang menjelaskan hasil autopsi,” ucap Brigjen Jossy.
Kepada kepolisian, Penrad pun menyampaikan laporan masyarakat sipil yang menyebut adanya materi ajar di sekolah yang berpotensi menormalisasi kekerasan dan intoleransi.
“Dari laporan masyarakat sipil yang fokus pada pendidikan, banyak juga materi ajar yang mengandung kekerasan berbasis SARA. Ini harus menjadi perhatian serius pihak kementerian dan lembaga terkait. Polisi juga memiliki tanggung jawab melakukan sosialisasi agar tidak terjadi tindakan kekerasan dalam bentuk apa pun di sekolah sebagai ruang pendidikan,” katanya.
Penrad menyampaikan bahwa ia akan terus mengawal kasus ini hingga terang dan tuntas. Ia juga menyampaikan belasungkawa kepada keluarga besar Butarbutar dan Sibarani atas kehilangan putra mereka.
“Saya sangat berduka atas kematian KB. Duka cita saya bertambah apabila benar ini bermula dari bullying. Dunia pendidikan kembali berduka karena tempat mendidik anak justru menjadi tempat terjadinya kekerasan. Saya harap kita kawal kasus ini bersama hingga keluarga bisa menerima dengan ikhlas,” pungkasnya.[]