Radikalisme Berbasis Agama Marak Terjadi di Indonesia

Direktur Eksekutif Jaringan Moderat Indonesia, Islah Bahrawi. (Foto: Alur/Ist)

Makassar - Direktur Eksekutif Jaringan Moderat Indonesia, Islah Bahrawi menyebutkan, bahwa radikalisme yang berbasis agama memang selalu menggunakan entitas-entitas untuk sasaran merekrut.

Di zaman Nabi Muhammad kata Islah, sudah ada radikalisme berbasis agama dengan menggunakan Masjid Ad-Dhirar sebagai lokasi untuk menyebar paham-paham radikal sehingga masjid itu dikatakan sebagai masjid pembangkangan.

Baca juga: Sulsel Skala Prioritas Pencegahan Paham Radikalisme dan Aksi Terorisme

"Kita tidak bisa menutup mata di jaman nabi sudah ada Masjid Ad-Dhirar dan sekarang di Afghanistan serta di Pakistan. Semua ajaran ideologi kekerasan ini memang diajarkan di masjid-masjid dan di pesantren-pesantren," kata Islah di selah acara dialog kebangsaan di Makassar, Selasa 8 Februari 2022.

Seharusnya Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) tidak membuka dan mempertegas data-data yang terafiliasi dengan paham radikalisme, menurut Islah hal itu tidak usah dibuka di publik.

"Tapi kita harus mengakui itu, terafiliasi secara konsekuensi hukum itu harus diperkuat. Terafiliasi itu apakah karena ada pendanaan dari kelompok teror atau pesantren itu didirikan oleh kelompok teror. Ini harus jelas," ungkapnya.

Oleh karena itu, kata Islah hal itu menjadi pelajaran penting bagi BNPT. Semua data-data itu tidak boleh diungkapkan ke wilayah publik. Pasalnya, menurut dia tingkat sensitivitasnya sangat tinggi.

"Di masjid juga kita tidak tutup mata, penceramah-ceramah ini kadang justru mengajarkan untuk membenci, mengobarkan kita untuk aksi kekerasan, panji untuk membunuh dan membakar, sering itu. Khotbah juga kadang bukan hanya menyejukkan tapi kadang juga mengomporin kita untuk membenci. Ini ada kok. Seharusnya tidak usah umbar di publik, close operasion saja," jelasnya.

Dalam pendirian pondok pesantren itu, beber Islah ada aturannya seperti harus ada santri yang bermukim, kurikulum, stafnya dan orang yang bertanggungjawab dalam pondok pesantren itu.

"Ternyata yang masuk dalam daftar itu tidak layak disebut di pesantren. Tapi, dimasukan ke dalam pesantren, ini yang fatal. Tapi kalau paham radikalisme dan terorisme masuk mengilfitrasi doktrinasi oknum-oknum pesantren dan masjid iya," sebutnya.

Untuk mencegah itu, papar Islah jangan atas agama kemudian membenci orang lain dan membenci perbedaan.

"Karna perbedaan itu memang sunnatullah. Supaya kita ini saling mengenal. Ini kan sudah jelas mau ditaksirkan kemana lagi. Sudah jelas," pungkasnya. []

Komentar Anda