AICIS 22 Bahas Kontekstualisasi Fiqh untuk Peradaban dan Kehidupan Manusia

Menteri Agama RI Yaqut Cholil Qoumas.

Makassar - Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) ke 22 tahun 2023 sudah berlangsung.

Hal ini ditandai pemukulan bedug oleh Menteri Agama RI Yaqut Cholil Qoumas, bersama Gubernur Jawa Timur, Kofifah Indar Parawansa dan Dirjen Pendis Kemenag.

Acara ini dipusatkan di UIN Sunan Ampel Surabaya, Jawa Timur selama empat hari, Selasa - Jumat (2-5/5/2023).

Ajang bergengsi Kementerian Agama (Kemenag RI) ini membahas Kontekstualisasi Fiqh untuk Peradaban dan Kehidupan Manusia.

Forum Akademisi Pengkajian Islam Internasional milik Kementerian tersebut sebagai Implementasi Fiqh dalam berbagai Perspektif.

Menag Yaqut dalam sambutannya berharap  AICIS ke-22 ini membahas Fikih hubungan muslim dengan non muslim.

Gus Men, panggilan akrab Menag, menilai tema ini sangat penting dan menarik. Sebab, relevan dengan apa yang sedang dihadapi saat ini.

"Saya berharap diskusi dalam forum AICIS ini dilakukan secara serius, utamanya Fikih terkait hubungan antara muslim dan non muslim," pesannya.

"Fikih tentang status kafir dan non kafir. Sambil terus menggali dan memecah kebekuan Fikih vis a vis realitas sosial untuk dibahas pada forum-forum selanjutnya,"sambung Menag.

Menag juga berharap topik yang dibahas dalam AICIS relevan dan kontekstual dengan kebutuhan. Dikatakannya, dalam agama, ada hal yang bersifat tetap (the unchangeable/ats-tsaabit) dan ada yang berubah (the changeable/al-mutahawwil).

Soal akidah, hukum dan tata cara salat, puasa ramadan, zakat dan haji bersifat tetap. Tetapi soal harta yang wajib dizakati, atau mahram dalam haji, mungkin saja berubah.

"Ini menunjukkan bahwa fikih sebagai produk ijtihad ulama, bersifat dinamis, tidak statis. Sehingga fikih mampu menjawab persoalan-persoalan baru yang muncul," jelasnya.

Namun yang menjadi tantangan, Kata Yaqut adalah soal keberanian untuk membongkarnya.

"Beranikah para kiai pesantren dan dunia kampus mengubah pandangannya bahwa fikih bukanlah teks suci dan sakral, sebagaimana Al-Qur’an dan hadist.

Lebih-lebih, kebanyakan fikih lahir pada masa abad pertengahan, belum tentu relevan dalam konteks sekarang," tandas Menag.

Untuk itu, forum AICIS, yang mengundang para intelektual dari berbagai belahan dunia ini diharapkan menjadi media yang tepat untuk mendiskusikan sekaligus mencari solusi atas berbagai persoalan dunia saat ini.

AICIS dengan tajuk Kontekstualisasi Fiqh untuk Peradaban dan Kehidupan Manusia ini akan dibahas dalam empat sesi pleno.

Pertama, Sesi Pleno bertajuk Rethinking Fiqh for Non-violent Religious Practices.

Sesi ini akan melibatkan tiga pembicara kunci, Dr. (HC). K. H. Yahya Cholil Staquf dari Indonesia, Prof. Dr. Siti Ruhaini Dzuhayatin, MA dari Indonesia, dan Prof. Abdullahi Ahmed An Na'im dari Amerika Serikat.

Sesi Pleno kedua membahas Recounting Fiqh for Religious Harmony.

Dalam sesi ini ada empat pembicara yakni Prof. Dr. Usamah Al-Sayyid Al Azhary dari Universitas Al Azhar di Mesir.

Kemudian, Muhammad Al Marakiby, Ph.D dari Mesir, Dr. Muhammad Nahe'i, MA dari Indonesia, dan Prof. Dr. Rahimin Affandi Bin Abdul Rahim dari Malaysia.

Sesi Ketiga membahas Maqashid al-Syariah as a Reference and Framework of Fiqh for Humanity.

Sesi ini akan melibatkan tiga pembicara: Prof. Mashood A. Baderin dari Inggris, Dr. (HC) K. H. Afifuddin Muhajir dari Indonesia, dan Prof. Dr. adi Eren dari Turki.

Selanjutnya sesi Keempat membahas The Negotiated Shari'ah: Between Religiosity and Humanity in Current Development of Indonesia.

Sesi ini akan melibatkan tiga pembicara yaknk Prof. Tim Lindsey Ph.D dari Australia, Prof. Dr. Mohd. Roslan Bin Mohd Nor dari Malaysia, dan Ning Allisa Qotrunnada Wahid dari Indonesia. []

Komentar Anda