Bandung. Bagi masyarakat Kamojang, kopi adalah identitas dan bukan hanya komoditas. Di Kamojang kopi menjadi mata pencaharian utama bagi ratusan keluarga serta bagian dari warisan desa.
Namun dibalik aroma kopi yang khas, para petani justru menghadapi berbagai tantangan yang menghambat peningkatan produktivitas dan pendapatan.
Proses pengeringan kopi yang lambat dan rentan gagal, terutama di musim hujan, membuat kualitas hasil panen menurun dan harga jual tidak optimal.
Ketergantungan pada pupuk kimia yang mahal serta limbah pertanian yang tidak termanfaatkan semakin menambah beban bagi para petani kopi di Kamojang.
Di tengah keterbatasan tersebut, Kamojang memiliki keunggulan yaitu kekayaan panas bumi. Kawasan ini merupakan lokasi Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) pertama di Indonesia dan menyimpan potensi energi yang besar.
Energi ini tak hanya menjadi sumber listrik nasional, tetapi juga bisa dimanfaatkan secara langsung (direct use) yakni pemanfaatan uap panas untuk mendukung kegiatan produktif masyarakat seperti pertanian dan pengelolaan limbah.
Sebagai bagian dari upaya menuju pembangunan berkelanjutan, pendekatan ekonomi sirkular menjadi strategi penting untuk menciptakan nilai tambah dari sumber daya lokal. Di Kamojang, prinsip ini diwujudkan melalui pemanfaatan panas bumi untuk mendukung pertanian dan pemberdayaan masyarakat.
Menjawab keresahan petani dengan memanfaatkan potensi daerah, PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGE) (IDX: PGEO) mengembangkan dua inovasi utama yaitu Geothermal Coffee Process (GCP) dan Geothermal Organic Fertilizer (GeO-Fert). Keduanya menjadi tonggak transformasi ekonomi masyarakat berbasis energi bersih.
Direktur Utama PT Pertamina Geothermal Energy Tbk Julfi Hadi mengungkapkan, energi bersih harus menyentuh kehidupan masyarakat secara langsung, bukan hanya lewat listrik, tapi juga lewat manfaat ekonomi dan sosial yang nyata.
"Inovasi kami di Kamojang, khususnya dalam hal produksi kopi, membuktikan bahwa pemanfaatan energi bisa memperkuat ketahanan pangan, memperluas peluang usaha, dan mengangkat martabat petani, sambil tetap menjaga lingkungan," ungkap Jufli dalam surat elektronik yang diterima Alur.id, Rabu (30/7/2025).
Ia menjelaskan, sebagai produsen kopi terbesar keempat di dunia, Indonesia memiliki jutaan petani yang menggantungkan hidupnya pada komoditas ini.
"Jawa Barat, termasuk Kamojang, dikenal sebagai wilayah penghasil kopi arabika unggulan. Namun tantangan pasca panen dan biaya produksi tinggi masih membatasi potensi mereka," jelas Julfi.
Ditegaskannya, Geothermal Coffee Process (GCP), hadir sebagai jawaban atas tantangan para petani kopi. Teknologi ini, kata Julfi, memanfaatkan uap buangan dari PLTP Kamojang untuk mempercepat proses pengeringan kopi.
"Dari yang sebelumnya memakan waktu 30–45 hari, kini hanya membutuhkan 3–10 hari. Prosesnya lebih higienis, konsisten, dan menghasilkan cita rasa yang lebih khas," tegasnya.
Ia melanjutkan, kopi Kamojang pun mulai menembus pasar-pasar baru, dari Bandung hingga Jepang dan Jerman. Teknologi ini, kata dia, telah dipatenkan dan tercatat sebagai yang pertama di dunia dalam pengolahan kopi berbasis panas bumi.
Sementara itu, GeO-Fert, lanjut Julfi, mengolah limbah pertanian dan rumah tangga menjadi pupuk organik dengan memanfaatkan uap panas bumi bersuhu 60 hingga 70 derajat Celcius.
Dikatakannya, proses fermentasi ini hanya memerlukan waktu 12 jam, dan dalam satu tahun dapat menghasilkan 28,8 ton pupuk kering yang saat ini digunakan oleh lebih dari 160 petani lokal. "Teknologi ini memperkuat praktik pertanian berkelanjutan yang hemat biaya dan minim limbah," ungkap Julfi.
Hal senada disampaikan Nono, petani kopi dan mitra binaan GCP Kamojang. Menurutnya, sejak diterapkan, inovasi ini telah menunjukkan dampak nyata. Produksi kopi Kamojang melonjak dari 5 kuintal pada 2018 menjadi 30 ton pada 2024.
Ia menjelaskan, penjualan green bean meningkat dari Rp250 juta menjadi Rp560 juta per tahun, sementara roasted bean naik dari Rp120 juta menjadi Rp180 juta. Pendapatan petani naik, biaya produksi turun, dan akses pasar semakin terbuka.
“Dengan adanya dry house, proses pengeringan kopi yang biasanya sampai 30 hari kini bisa hanya 8 sampai 12 hari. Rasanya khas, ada aroma buah-buahan yang beda dari yang lain. Harapannya, panen bersama seperti ini bisa terus berlanjut agar petani lainnya juga ikut senang dan merasakan manfaatnya,” ujar Nono.
Untuk diketahui, program ini juga telah melalui analisis Social Return on Investment (SROI) yang diverifikasi oleh Universitas Gadjah Mada (UGM), menunjukkan bahwa program ini mencatat rasio 3,13, atau ada dampak positif bagi sosial dan ekonomi sebesar 3,13 kali lipat dari setiap Rp1 yang diinvestasikan.
Angka ini mencerminkan efisiensi sekaligus besarnya manfaat program ini bagi masyarakat, yaitu sekitar Rp367,5 juta per tahun dan diproyeksikan meningkat hingga Rp6,3 miliar.
Selain itu, program ini turut berkontribusi pada pengurangan emisi karbon hingga 20.000 ton CO per tahun dan memungkinkan daur ulang lebih dari 1,2 ton sampah organik setiap tahunnya.
Dengan pendekatan berbasis energi bersih dan prinsip zero waste, zero emission, dan zero conflict, inisiatif ini menjadi model nyata dari praktik ekonomi sirkular yang berbasis komunitas.
Inisiatif ekonomi sirkular yang dikembangkan PGE ini juga telah mendapat berbagai penghargaan bergengsi, di antaranya ASEAN Renewable Energy Awards, PROPER Emas dari Kementerian LHK, hingga Platinum Champion BISRA 2024.
Ke depan, PGE menargetkan perluasan replikasi program ini ke berbagai wilayah kerja lain, sebagai bagian dari visi jangka panjang perusahaan dalam mendukung transisi energi yang adil dan inklusif.
PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGE) (IDX: PGEO) merupakan bagian dari Subholding Power & New Renewable Energy (PNRE) PT Pertamina (Persero) yang bergerak di bidang eksplorasi, eksploitasi, dan produksi panas bumi.
Saat ini PGE mengelola 15 Wilayah Kerja Panas Bumi dengan kapasitas terpasang sebesar 1.932 MW, terbagi atas 727 MW yang dioperasikan dan dikelola langsung oleh PGE dan 1.205 MW dikelola dengan skema Kontrak Operasi Bersama.
Kapasitas terpasang panas bumi di wilayah kerja PGE berkontribusi sekitar 70% dari total kapasitas terpasang panas bumi di Indonesia, dengan potensi pengurangan emisi CO2 sebesar sekitar 10 juta ton CO2 per tahun.
Sebagai world class green energy company, PGE ingin menciptakan nilai dengan memaksimalkan pengelolaan end-to-end potensi panas bumi beserta produk turunannya serta berpartisipasi dalam agenda dekarbonasi nasional dan global untuk menunjang Indonesia net zero emission 2060.
PGE memiliki kredensial ESG yang sangat baik dengan 18 penghargaan PROPER Emas sejak 2011 sampai 2025 dalam penghargaan kepatuhan lingkungan tertinggi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Peringkat & Keterlibatan ESG. []