Kecam UU BUMN Baru, Anggota DPD Penrad: DPR Mengkhianati Seluruh Rakyat Indonesia!

Anggota Komite I DPD RI, Pdt. Penrad Siagian.(Foto:Alur/Nando)

Jakarta – Anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI), Pdt. Penrad Siagian, angkat bicara terkait pengesahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN).

Dalam pernyataannya, Pdt. Penrad menilai DPR RI telah melakukan pengkhianatan terhadap semangat reformasi, penegakan hukum, serta cita-cita pemberantasan korupsi di Indonesia.

“Selain secara prosedur menyalahi dan melanggar mekanisme penyusunan UU, pengesahannya juga merupakan pengkhianatan terhadap semangat dan mandat reformasi terhadap anti korupsi,” tegas Penrad, Kamis, 8 Mei 2025.

Menurutnya, dari sisi prosedur, UU BUMN yang baru ini cacat secara formil. Sebab, lanjutnya, hampir tidak ada partisipasi publik, minim transparansi, dan melanggar ketentuan yang diatur dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3).

Ia menyoroti bahwa Pasal 88 dan Pasal 96 UU P3 dengan jelas mewajibkan partisipasi masyarakat dan keterbukaan dalam setiap tahapan legislasi.

Dalam pasal itu, sambungnya, ditegaskan bahwa masyarakat memiliki hak untuk memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam setiap tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan.

“Secara prosedural, pengesahan UU BUMN cacat formil. Hampir nihil partisipasi publik, hingga tidak adanya transparansi. Hal ini membuat pengesahan UU BUMN menjadi inkonstitusional,” ujarnya.

Selain inkonstitusional, dia mengatakan pengesahan ini memperlihatkan DPR RI mengkhianati Penegakan hukum dan Semangat Anti Korupsi.

"Ini artinya DPR mengkhianati seluruh rakyat Indonesia. DPR harusnya sadar, keberadaan mereka saat ini adalah hasil dari reformasi dengan yang salah satunya adalah semangat anti korupsi itu," tuturnya.

"Semangat Anti Korupsi sepertinya sudah tidak ada lagi di tubuh lembaga yang menyebut diri merupakan perwakilan rakyat ini. Betapa tidak revisi atas UU BUMN memperlihatkannya cukup jelas," sambungnya.

Lebih lanjut, Penrad sejumlah pasal yang dirancang baik untuk BUMN maupun Danantara melalui UU tersebut berpotensi kuat untuk melanjutkan dan memperburuk tren korupsi yang selama ini marak terjadi di lingkungan perusahaan pelat merah itu.

"Juga membuat kasus korupsi menjadi sulit atau bahkan tidak dapat lagi dideteksi keberadaannya oleh penegak hukum," kata Senator asal Sumatra Utara (Sumut) ini.

Ia menyebut revisi ini secara terang-terangan melumpuhkan pengawasan dan melemahkan upaya pemberantasan korupsi di tubuh BUMN.

Setidaknya ada tiga poin utama yang menjadi sorotannya:

Pertama, pemangkasan kewenangan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Sebelumnya BPK bisa melakukan pemeriksaan menyeluruh atas keuangan dan kinerja BUMN.

Namun dengan UU baru, BPK hanya boleh melakukan pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT), itu pun harus atas permintaan DPR.

“Jelas ini berpotensi untuk menghadirkan politisasi terhadap fungsi pengawasan keuangan yang idealnya bersifat profesional, akuntabel, dan lepas dari segala anasir politik,” ungkapnya.

"Kini PDTT yang selama ini dilakukan untuk keperluan investigasi perlu mendapatkan “restu” dari cabang kekuasaan politik yang tentu akan sarat dengan konflik kepentingan dan justru menghalangi fungsi-fungsi pengawasan yang optimal,” lanjut dia.

Kedua, Pdt. Penrad mengkritik keras pasal 3X ayat 1 dan Pasal 9G yang menyatakan bahwa penyelenggara BUMN tidak lagi masuk dalam kategori penyelenggara negara. Hal ini berdampak langsung terhadap kewenangan KPK.

“Ini artinya bahwa sesuai dengan UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka KPK tidak lagi bisa melakukan investigasi dan penindakan apabila terjadi kasus korupsi di tubuh BUMN,” ujarnya.

Ia mengutip Pasal 11 ayat (1) UU KPK yang membatasi kewenangan lembaga antirasuah itu hanya terhadap penyelenggara negara dan perkara yang menyangkut kerugian negara di atas satu miliar rupiah.

Diketahui, ICW mencatat setidaknya 212 kasus korupsi di BUMN dengan total kerugian negara mencapai Rp 64 triliun sepanjang 2016–2023.

“Saya tidak habis pikir apa yang diinginkan oleh DPR RI saat mengesahkan revisi UU BUMN ini,” tegas Penrad.

Ketiga, hilangnya frasa “kekayaan negara yang dipisahkan” dari UU BUMN dianggapnya sebagai bentuk pelepasan tanggung jawab negara atas dana BUMN.

“Implikasi dari hilangnya frasa tersebut dapat diartikan bahwa kekayaan BUMN tidak lagi masuk ke dalam definisi keuangan negara.

Ketentuan-ketentuan dalam UU BUMN seperti pemisahan kekayaan negara dan pejabat BUMN yang tidak lagi masuk dalam kategori pejabat publik justru memberikan perlindungan mutlak bagi orang-orang yang melakukan suap di dalam tubuh BUMN,” ujarnya.

Dengan perubahan-perubahan ini, ia mempertanyakan, untuk siapa sesungguhnya revisi UU BUMN ini dibuat.

“Saya yakin, yang jelas bukan kepada dan untuk kepentingan rakyat,” ucap Penrad Siagian.[]

Komentar Anda