Diluncurkan, Buku "Bukan Timah Hitam, Petani Dairi Melawan Tambang"

Peluncuran buku berkisah perlawanan warga Kabupaten Dairi, Sumut melawan tambang, Rabu, 22 November 2023. (Foto: Ist)

Sidikalang - Yayasan Diakonia Pelangi Kasih (YDPK) melakukan peluncuran dan diskusi buku berjudul “Bukan Timah Hitam, Petani Dairi Melawan Tambang” pada Rabu, 22 November 2023.

Peluncuran buku dilakukan secara hybrid yang dihadiri banyak pihak, baik secara online dan offline.

Hadir Camat Silima Pungga-pungga, KSPPM, Bakumsu, Jatam-Nas, JKLPK, Trend Asia, secara online (zoom).

Tampak juga beberapa pendeta dari gereja GKPS termasuk organisasi mahasiswa, seperti GMKI dan GMNI.

Peluncuran dan diskusi buku diwarnai tarian tor-tor yang dipersembahkan organisasi perempuan dari Desa Lae Markelang dan Lae Haporas serta pembacaan puisi oleh staf YDPK Devi Sianipar.

Perwakilan Pengurus YDPK, Solide Siahaan menyampaikan harapannya melalui peluncuran buku “Bukan Timah Hitam, Petani Dairi Melawan Tambang", akan semakin banyak orang yang berjuang untuk mempertahankan hak-hak mereka atas tanah yang mereka kelola.

"Karena tanah merupakan titipan atau dimandatkan oleh Tuhan kepada setiap orang," katanya.

Perwakilan komunitas membacakan tulisannya sekaligus kesaksiannya atas kekhawatiran mereka atas dampak aktivitas PT Dairi Prima Mineral (DPM) yang sudah terjadi dan potensi dampak yang ditimbulkan ke depan. 

Kekhawatiran yang disampaikan komunitas dampingan YDPK ini, mengingat mereka hidup dan dapat menyekolahkan anak-anak mereka dari pertanian.

Kesaksian misalnya diungkapkan Hasugian, seorang  petani jeruk purut dari Desa Bongkaras. Dia berhasil menyekolahkan lima orang anaknya bahkan sampai ke jenjang perguruan tinggi dari hasil pertanian jeruk purut. 

Santun Sinaga selaku Direktur YDPK kemudian menyampaikan ulasan singkatnya  terhadap isi buku, sekaligus sebagai pengingat atas kehadiran YDPK di Parongil sejak tahun 2008 atau sekitar 15 tahun.

Menurutnya, sudah banyak yang telah dilakukan YDPK untuk memperjuangkan lingkungan hidup dan ekonomi warga. 

Dengan adanya buku ini,  harapannya akan semakin meluas  informasi perjuangan melalui banyak kisah yang dituliskan oleh komunitas sehingga semakin banyak pula pihak yang akhirnya bisa bergabung untuk berjuang bersama.

Kesempatan itu, seorang tetua yakni Ompung Gideon Sitorus membacakan satu surat yang isinya mengajak dan berpesan kepada anak-anak untuk ikut memperjuangkan ruang hidup mereka ke depan. 

BACA JUGA: Demo Pegiat Lingkungan di Aquabike World Championship 2023 Tao Silalahi

Diungkap, harapan dan sekaligus kegelisahan atas hadirnya PT DPM, adalah bukti autentik bahwa tambang bukan solusi untuk meningkatkan kesejahteraan warga, namun sebaliknya akan membawa kehancuran yang mengancam hidup warga lintas generasi. 

Dalam peluncuran buku ini turut hadir sebagai narasumber, yaitu Melky Nahar selaku Koordinator JATAM.

Dia menyampaikan gambaran bagaimana oligarki pertambangan di Indonesia dalam konteks perjuangan warga Dairi.

Melky mengulas secara singkat bagaimana pemerintahan Indonesia dari rezim ke rezim dilihat dari produk undang-undang atau kebijakan dalam mengelola kekayaan alamnya dan hubunganya dalam pengelolaan percepatan tata kelola sektor pertambangan. Mulai pada masa Soekarno sampai saat ini. 

"Dimana sistem politik kita memakan biaya yang sangat besar akibatnya jika kita cek di tahun 2019 keterlibatan dalam politik elektoral ini semakin terbuka, indikasinya terlihat dari pembiayaan kampanye kontestannya memang dari sektor industri pertambangan dan sejumlah anggota parlemen yang berhubungan dengan bisnis tambang," bebernya.

Disebutnya, apabila kontestan terpilih dapat dilihat dari susunan kabinetnya dan juga parlemen yang berakhir pada banyaknya regulasi dimana pemerintah daerah akan selalu mengatakan itu urusan pusat padahal bagian dari rekomendasi itu masih menjadi tugas dan tanggung jawab kepala daerah. 

Hal ini kata dia, membuat jarak antara warga dengan pemerintah itu semakin jauh  ketika  ingin menyampaikan aspirasinya.

"Alasan kita berkumpul hari ini, diawali dengan kebijakan negara yang amburadul tadi," katanya.

Menariknya buku yang sedang diulas kata Melky, dimana sebagian ditulis oleh warga yang sedang membantah narasi umum yang tampak mengagung-agungkan yang namanya pertumbuhan ekonomi.

"Saya bangga, buku yang ditulis ini ada hal baru yang saya temukan, adalah warga menuliskan kisahnya sendiri. Biasanya diberikan kepada pihak ketiga sehingga mengandung asumsi-asumsi. Kesimpulan saya  buku ini berisikan sesuatu yang original atau autentik dimana warga dapat menjelaskan situasi yang sebenarnya yang dialami dan situasi yang berkecamuk di kepalanya dengan menarik," tukasnya. 

Marsen Sinaga selaku editor buku, dalam penyampaiannya menyatakan bahwa dia hanya memperkuat apa yang tidak tertulis di buku, tapi ada tersirat tentang bagaimana pemuda atau generasi yang akan melanjutkan perjuangan orang tua mereka. 

"Orang tua yang berjuang hari ini untuk tanahnya, berharap itu untuk anak-anaknya," ujarnya.

Dia juga menyoroti beberapa tulisan, seperti tulisan Devi Sianipar yang menggambarkan bahwa pendidikan yang tinggi dan jauh akan menjauhkan anak-anak muda dari tanah dan kampung mereka. 

"Sehingga perlu dipikirkan bagaimana mempersiapkan para generasi muda untuk meneruskan perjuangan karena perjuangan ini panjang dan kita sedang melawan negara yang sangat kuat," tandasnya. []

Komentar Anda