Jakarta - Kota Solo kembali berdenyut dalam irama jazz. Sabtu, 27 September 2025, Pamedan Pura Mangkunegaran menjadi titik temu bagi musisi lintas generasi dan penonton dari berbagai penjuru.
Solo City Jazz edisi ke-13 bukan sekadar festival musik—ia adalah perayaan atmosfer, identitas, dan semangat kota yang terus tumbuh dalam nada-nada yang hangat dan berani.
Dimulai sejak pukul 16.00 WIB, saat mentari mulai merunduk dan udara Solo menjadi lebih bersahabat, UTARA membuka panggung dengan nuansa nostalgia. Band asal Solo ini kembali setelah vakum cukup lama, membawakan lagu-lagu seperti Ruang Lain, Lelah Langkahku, dan Hujan di Hatiku yang direkomposisi khusus untuk malam itu.
"Ini bukan sekadar tampil, tapi penanda bahwa kami kembali," ujar Ipul, sang leader.
Aditya Ong Quartet menyusul dengan komposisi yang segar dan penuh eksplorasi. Love, Live and Hope menjadi pembuka, diikuti East, West, CNY Night dan Think, Re-Think, Action. Malam makin matang saat Aditya mengiringi Sandhy Sondoro, yang tampil selepas waktu Maghrib dan Isya.
Sandhy membawakan Anak Jalanan, Dariku Untukmu, Tak Pernah Padam, hingga Malam Biru, mengajak penonton bernyanyi dan larut dalam suasana.
Pung n Friends – Ing Jazz Triwindu, grup senior asal Solo, turut memanaskan panggung dengan lagu-lagu klasik dan jazz populer. Mereka juga mengiringi Wakil Wali Kota Solo, Astrid Widayani, yang membawakan Don't Know Why dengan penuh kelembutan.
Dari komunitas Jazz Pinggir Kali Pepe, Pilipe tampil dengan komposisi instrumental yang kental, dipimpin oleh Sukat Puspaningrat. Margie Segers kemudian naik panggung, membawakan Fly Me to the Moon, Kesepian, dan Semua Bisa Bilang dengan gaya khasnya yang memikat. Ia bahkan turun menyapa penonton, menjadikan malam semakin hidup.
Float hadir sebagai kejutan pop-rock yang menyegarkan. Dengan vokal khas Meng dan lagu-lagu seperti Time, Emily, dan Pulang, mereka membawa warna baru ke dalam festival. Penonton menyambut dengan antusias, menjadikan penampilan mereka sebagai salah satu momen paling bergairah malam itu.
Efek Rumah Kaca menutup Solo City Jazz 2025 dengan atmosfer yang berbeda. Lagu-lagu seperti Kamar Gelap, Rahim Ibu, Desember, dan Cinta Melulu membungkus malam dengan refleksi, noise, dan kehangatan.
Cholil Mahmud dan kawan-kawan menghadirkan jazz dalam tafsir yang tak biasa—eksperimental, puitis, dan menggugah.
Solo City Jazz tahun ini bukan hanya tentang musik. Ia adalah tentang kota yang membuka dirinya, tentang ruang yang memberi tempat bagi ekspresi, dan tentang orang-orang yang datang untuk merasakan sesuatu yang lebih dari sekadar hiburan.
Jazz di Solo bukan hanya genre, tapi suasana. Dan tahun ini, suasana itu terasa lebih kaya, lebih berani, dan lebih hidup. []