Jakarta – Negara kembali dikritik karena membiarkan praktik eksklusivitas terus hidup di balik kemegahan pembangunan masjid.
Masjid dibangun megah, tapi tidak bisa diakses oleh difabel. Ini diskriminasi struktural yang dibungkus kesalehan simbolik
Dalam forum Halaqoh Kebangsaan yang digelar di Kantor P3M Jakarta Timur, kritik keras disampaikan terhadap minimnya keberpihakan negara pada kelompok disabilitas dalam pembangunan rumah ibadah.
Anggota Komisi VIII DPR RI dari Fraksi PKB, KH. Maman Imanulhaq, menyebut pembangunan masjid selama ini lebih menonjolkan simbolisme ketimbang substansi keadilan.
“Masjid dibangun megah, tapi tidak bisa diakses oleh difabel. Ini diskriminasi struktural yang dibungkus kesalehan simbolik,” ujar Maman seperti mengutip keterangannya, Senin, 19 Mei 2025.
Ia menekankan bahwa isu aksesibilitas masih terpinggirkan dari agenda kebijakan nasional.
Senada dengan itu, Fatimah Asri Mutmainnah dari Komisi Nasional Disabilitas mengungkapkan bahwa belum ada peta jalan nasional yang mengatur masjid inklusif.
Kementerian Agama dan Dewan Masjid Indonesia (DMI), menurutnya, belum menunjukkan komitmen anggaran yang memadai.
“Anggaran afirmatif untuk aksesibilitas nyaris tak terdengar. Ini menandakan masjid ramah disabilitas belum dianggap prioritas,” katanya.
Dari internal DMI, Rahmat Hidayat mengakui adanya kesadaran yang tumbuh di kalangan pengurus masjid.
Namun, ia juga jujur soal hambatan utama: tidak adanya regulasi teknis dan pendanaan yang memadai. “Tanpa dukungan struktural, ini hanya jadi wacana,” ujarnya.
Peneliti dari P3M, Badrus Samsul Fata, menilai pemerintah terlalu sibuk dengan program keagamaan yang sifatnya seremonial.
“Masjid yang membumi adalah masjid yang berpihak, terutama kepada kelompok rentan. Tapi yang terjadi, akses terhadap ruang ibadah justru menjadi cermin ketimpangan sosial,” ujarnya.
Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kementerian Agama, Basnang Said, dalam kesempatan itu menyatakan keterbukaan Kemenag untuk berkolaborasi dalam penyusunan panduan teknis masjid inklusif.
Namun, belum ada komitmen konkret terkait penganggaran maupun langkah strategis jangka pendek.
Halaqoh ini merumuskan sejumlah rekomendasi yang bersifat mendesak: pengalokasian dana khusus untuk renovasi dan pembangunan masjid ramah disabilitas, pelatihan untuk takmir dalam memberikan layanan ibadah yang inklusif, serta audit nasional terhadap kondisi aksesibilitas masjid di seluruh Indonesia.
Pesan dari forum ini jelas: membangun masjid ramah disabilitas bukan sekadar urusan fisik bangunan, tetapi perwujudan dari nilai keadilan sosial dan penghormatan terhadap kemanusiaan.
Jika negara dan otoritas keagamaan tak segera bertindak, maka kesalehan yang dikampanyekan dari mimbar masjid akan terus berjarak dengan realitas sosial umat.[]