Alur.id
    Berita    Detail Article

F-PKS DPR RI Apresiasi Langkah Menkeu Kejar Tunggakan Pajak Rp 60 Triliun

Anis Byarwati

Jakarta — Anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi PKS, Anis Byarwati, memberikan apresiasi terhadap langkah Menteri Keuangan Purbaya yang tengah mengejar tunggakan pajak sebesar Rp 60 triliun dari 200 wajib pajak besar. 

Ini langkah yang sangat membantu menjaga kesehatan fiskal, sekaligus memberi ruang bagi pemerintah untuk membiayai program-program esensial

Kebijakan ini dinilai sebagai langkah strategis yang dapat memperbaiki kesehatan fiskal negara tanpa harus menambah beban utang baru.

Dalam wawancara dengan Trijaya FM pada Rabu, 24 September 2025, Anis menyatakan bahwa penagihan tunggakan pajak senilai Rp 60 triliun tersebut memiliki dampak signifikan terhadap pengelolaan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). 

"Rp 60 triliun itu jumlah yang sangat besar. Kalau berhasil ditarik, bisa menutupi 15–20% dari defisit APBN per Agustus 2025 yang mencapai Rp321,6 triliun," ungkap politisi PKS ini.

Ia menekankan bahwa dengan berhasilnya penagihan ini, pemerintah tidak perlu menerbitkan surat utang baru. 

"Artinya, negara tidak perlu menerbitkan surat utang baru. Ini langkah yang sangat membantu menjaga kesehatan fiskal, sekaligus memberi ruang bagi pemerintah untuk membiayai program-program esensial," jelasnya.

Anis Byarwati juga menyoroti pentingnya penegakan hukum pajak untuk menciptakan rasa keadilan di antara wajib pajak. 

Menurutnya, keberhasilan menagih tunggakan dari wajib pajak besar akan memberikan efek jera sekaligus meningkatkan kepercayaan publik.

"Kalau penunggak pajak besar bisa dieksekusi, akan ada efek jera dan rasa keadilan. Yang selama ini taat akan merasa dihargai, sementara yang tidak patuh akan mendapat sanksi tegas," tegasnya.

Langkah tegas terhadap penunggak pajak besar ini diharapkan dapat memperbaiki moralitas perpajakan di Indonesia, di mana wajib pajak yang selama ini patuh membayar kewajiban mereka akan merasa upaya mereka dihargai oleh negara.

Meski mengapresiasi langkah pemerintah, Anis mengingatkan bahwa penagihan tunggakan pajak saja tidak cukup. 

Ia menekankan perlunya reformasi fundamental dalam sistem perpajakan nasional agar masalah serupa tidak terus berulang di masa mendatang.

"Langkah berani ini harus diiringi dengan reformasi fundamental dalam sistem perpajakan. Kalau tidak, masalah tunggakan pajak bisa terus berulang. Digitalisasi seperti Coretax harus benar-benar memudahkan masyarakat, bukan justru menyulitkan," tegas Anis.

Sistem perpajakan digital yang efektif, menurutnya, harus mampu mempermudah proses pelaporan dan pembayaran pajak, bukan malah menambah beban administratif bagi wajib pajak.

Anis juga mengingatkan pemerintah untuk tetap menjaga keseimbangan antara penegakan hukum pajak dengan iklim investasi yang kondusif. 

Ia khawatir proses penagihan yang terlalu keras dapat menimbulkan kekhawatiran di kalangan pelaku usaha.

"Panduan yang jelas sangat penting. Jangan sampai penagihan ini justru menimbulkan kekhawatiran di kalangan dunia usaha. Ketegasan hukum memang sinyal positif bagi investor, tapi tetap harus diimbangi agar iklim usaha tidak terganggu," katanya.

Menurutnya, penegakan hukum perpajakan yang tegas sebenarnya dapat menjadi sinyal positif bagi investor karena menunjukkan komitmen pemerintah terhadap kepastian hukum. 

Namun, hal ini harus dilakukan dengan cara yang tidak mengganggu operasional dunia usaha.

Di akhir pernyataannya, Anis mendorong pemerintah untuk terus meningkatkan literasi perpajakan kepada masyarakat. 

Ia ingin masyarakat memahami bahwa pajak adalah kontribusi bersama untuk pembangunan bangsa, bukan beban yang memberatkan.

"Pajak jangan sampai terasa seperti 'memeras'. Kita perlu membangun kesadaran bahwa pajak adalah kontribusi bersama untuk bangsa. Semakin sehat iklim usaha, semakin besar penerimaan negara tanpa harus menambah utang," pungkas Anis.

Dengan pendekatan yang tepat dalam penagihan pajak, reformasi sistem, dan peningkatan literasi pajak, diharapkan Indonesia dapat meningkatkan penerimaan negara secara berkelanjutan tanpa harus bergantung pada utang untuk menutup defisit APBN.[]